Sunday, March 25, 2007
Kok belum kelihatan bahwa elo anak informatik?
"Tapi wan, gw belum ngeliat tanda di website ato blogspotmu yang menunjukkan bahwa kamu anak informatik.", kira-kira begitulah yang dikatakan oleh seorang sahabat gosipku di sini.
Sebuah kalimat yang terlontar saat kami ngobrol tidak karuan sesudah pengajian jumat kemaren. Sahabatku itu tidak mempunyai tendensi apa-apa saat melontarkan kalimat itu. Dan seperti biasa, dengan sebuah argumentasi yang mungkin gak kuat, gw berhasil menghindari pernyataan itu ^^.
Tapi sedikit banyak, apa yang dikatakan oleh sobatku itu menggelitik pikiran di malam ini. Apa sih yang telah kulakukan atau kuhasilkan sehingga gw ini pantas disebut sebagai anak informatik? Sangat mengganggu karena setelah kupikir-pikir, kok gak ada ya yang bisa kusebutkan?
Pertanyaan itu kembali menyusupi ke sela-sela pikiranku setelah membaca blogspot teman-teman malam ini. Setelah membaca dan memberikan komentar terhadap artikel yang menyoroti penelitian di Indonesia, gw coba untuk membaca artikel yang disarankan oleh Alfin dalam salah satu balasan komentarku. Di situ Mr. Hamming mengungkapkan bahwa seorang saintis yang besar adalah seseorang yang bekerja pada persoalan yang penting di bidangnya. Bahkan beliau sempat berkata kepada rekan-rekannya "If what you are doing is not important, and if you don't think it is going to lead to something important, why are you at Bell Labs working on it?'' (jika apa yang kamu lakukan tidak penting dan tidak akan membawamu kepada sesuatu yang penting, mengapa kamu mengerjakannya di Bell Labs -- salah satu pusat riset terkenal di New Jersey, USA).
Hmm...bener-bener persoalan yang menarik dan menggugah pikiranku. Apa yang sudah kulakukan ya? Penting gak ya? Dan mengapa tetap kulakukan?
Saat ini gw kuliah di RWTH Aachen mengambil program Master of Science di bidang Informatik. Apa gw pengen ngelanjutin ke S3 ya? Kalau iya, kelihatannya pertanyaan sobatku itu perlu gw jawab lain kali dengan lebih baik lagi. Bahkan tidak hanya dengan sebuah jawaban ambigu apalagi palsu, tetapi dengan sebuah bukti yang dapat membuat sahabatku berkata, "Kamu emang bener-bener anak informatik".
Aachen, 25 Maret 2007
sambil menunggu pergantian jam winter ke sommer.
persembahan bagi ayah-bunda Naura Rei Jatmiko...
Omong-omong kenapa ga ada posting baru tentang thesis ya? Ops, not a good progress I suppose T_T
Wednesday, March 21, 2007
Aku sebagai anggota kelompokku....
"Kamu tahu gak kata-kata orang2 di luaran tentang kita?", tanya Ono suatu hari kepadaku.
"Wah kagak, emang jelek ya citra kita di luaran?", tanyaku keheranan.
Kulihat, Ono berpakaian serba tebal, lengkap dengan sarung tangan dan topi coklat, berdiri di samping sepedanya. Tidak biasanya Ono yang pendiam terlihat begitu emosional, sampai menyempatkan diri berhenti mengendarai sepedanya dan menyapa diriku yang sedang dalam perjalanan pulang ke apartmen. Di tengah-tengah taman barat yang dingin begini, ingin rasanya aku segera pulang dan menikmati secangkir kopi panas. Tapi pertanyaannya yang tiba-tiba diajukan memancing perhatianku.
"Mad, orang kita disebut teroris, klo ngedeketin cewe bule hanya untuk nyari ijin tinggal doang di sini (ini sih buat orang dari negara lain, bukan dari Indo), omong besar tanpa ada hasil, kerjanya ngritik, gak bisa ngehargain orang lain bahkan ekstrimis. Makanya gw ikut aktif ke mana-mana memperkenalkan diri sebagai anggota kelompok kita, orang Indonesia juga pelajar", seru Ono berapi-api kepadaku.
Aku tak bisa terima pendapat Ono dan berdalih, "Ah, masa sih separah itu?"
"Kamu gak tahu aja, Mad. Sekarang sih udah mendingan, tapi dulu mana ada kelompok lain mau bekerja sama dengan kita. Kita udah dicap jelek seperti itu. Bukan kesalahan kita (berdua) sih, tapi emang kesalahan komunitas kita. Masa dulu ada acara bersama multi-agama, udah dikonfirmasi dengan kelompok kita, udah kita informasikan tempat acaranya, eh pas acara tiba2 beberapa sesepuh dari kelompok kita tidak mau masuk ke tempat acara malah milih di luar dengan alasan tempat acara itu dalam lingkungan tempat ibadah agama lain. Itu kan namanya nge-boikot. Kita kan malu, dengan kelakuan sesepuh itu.", getir suara Ono terdengar.
Aku tetap membela, "Para sesepuh pasti punya alasan untuk hal itu. Mungkin ada hal lain yang jadi pertimbangan mereka.".
Ono menampik, "Kalau emang mereka dari awal tidak setuju, ya bilang dong! Ini aneh, diajak diskusi dan menyusun acara tidak pernah mau datang. Trus main bilang setuju aja, nah tapi pas konsep acara udah jadi, eh malah ngritik dan ngeboikot."
"Tapi, kan..."
"Kamu ingat ga tahun lalu, Mad? Waktu kamu baru datang. Diskusi di rumah merah. Para sesepuh itu menyerang abis-abisan tanpa mau mendengar alasan. Akhirnya kita mengalah dan mengikuti keinginan mereka, Mad. Tapi apa, pas acara tidak satupun dari mereka datang ke acara. Apa-apaan tuh! Itukah yang namanya menghargai?"
".....", ingin rasanya aku membela tapi tak satupun kata dapat keluar dari lidahku yang kelu. Hanya terdengar suara bebek-bebek di kolam yang berebutan mengejar roti-roti yang disebarkan di pinggir kolam oleh seorang nenek. Dingin cuaca mulai menusuk-nusuk mukaku, perih rasanya. Maklum di musim-musim dingin seperti ini, mukaku sering kering dan kalau teterpa angin dingin sedikit saja kadang terasa perih.
"Padahal apa yang dikhawatirkan oleh para sesepuh sama sekali tidak ada. Coba kalau mereka hadir ke acara, biar mereka liat sendiri apakah yang mereka khawatirkan itu muncul".
Akhirnya aku kembali buka suara, "Para sesepuh itu khawatir n paranoid kalau kita bicara tentang hal itu, No! Itu bisa ngebuka luka lama.". "Lagipula itu kan gak bisa menjadi alasan bagi orang lain untuk mencap kelompok kita dengan hal-hal yang jelek.", tegasku.
"Ok, itu baru dari soal ekstremis n gak menghargai orang, Mad. Mau contoh lainnya?", tanya Ono balik.
Aku berpikir dalam hati, "masih ada lagi? Gila, emang ngapain aja sih kita selama ini?".
Tanpa menunggu aku menjawab, Ono kembali bercerita "Selama ini, ada kegiatan besar apa yang pernah kita adakan. Di mana kita menjadi inisiator dan konseptor?".
".... Gue kan orang baru No, jadi gw gak tahu...tapi selama ini sih, setahu gw ga ada.", sedih mengakui hal ini, tapi itulah faktanya. Aku hanyalah seorang baru di kota ini. Sesuai dengan cita-cita orang tua, aku pergi meninggalkan tanah air dan mendarat di negera yang kata orang penghasil mobil-mobil eropa dengan gengsi yang tinggi. Di sini pula aku menemui komunitas Indonesia, juga kelompokku. Ternyata di komunitas ini, kelompokku dipandang rendah dan remeh.
"Itu dia Mad. KAGAK ADA. Makanya kita diremehkan, dianggap cuma omong besar doang. Makanya, gw keluar dan aktif kemana-mana sebab gw pengen kelompok kita ga dianggap remeh. Gw sadar bahwa orang lain akan melihat bahwa anggota kelompok kita gak seperti yang mereka anggap."
"Iya, No! Tapi kan seharusnya mereka gak ngecap kita gitu dong", aku tetep ga bisa terima. Aku mulai ikut emosi. Dingin yang sedari tadi kurasa tiba-tiba sirna. Mungkin emosiku menaikkan suhu tubuhku dan mengalahkan dinginnya cuaca. Ah peduli amat dengan dingin, yang pasti aku ga bisa terima kata-kata Ono.
"Betul. Tapi orang di luaran itu ngeliat bukan tujuan dan apa yang dibawa oleh kelompok kita, tapi apa yang dilakukan oleh anggota-anggota kelompok kita. Kita melakukan apapun itu mencerminkan identitas kita. Kalau orang lain pengen ngeliat bagaimana kelakuan pelajar dan dia tahu elo pelajar, dia tinggal ngeliat kelakuan elo. Kalau elo kerjanya hura-hura dan berkelahi, ya entar dia ambil kesimpulan bahwa pelajar itu sukanya hura-hura dan berkelahi. Kita ga bisa salahin mereka, kita yang harus introspeksi"
Diskusi itupun terhenti dengan diamnya aku dan perginya Ono ke tempat kerjanya. Baru aku sadari, bahwa kata-kata dia ada benarnya. Aku sering kali tidak sadar dengan citra diriku, dengan siapa diriku. Aku di sini adalah pelajar S2, orang indonesia, lulusan s1 dari Universitas Negeri Bandung, dan anggota kelompokku. Dan itulah yang orang lain lihat dari diriku.
"No, jadi kita harus gimana? Oooooiiii, No! ONO!", teriakku memanggil Ono yang sudah di kejauhan. Bayang-bayang Ono semakin menghilang dengan turunnya kabut di sekitar taman. Aku pun bergegas melanjutkan perjalanan pulang dengan pikiran yang penuh tanda tanya.
Aachen, March 21, 2007.
Sebagai persembahan untuk sahabat yang telah berbagi dan membuatku belajar banyak hal.
"Wah kagak, emang jelek ya citra kita di luaran?", tanyaku keheranan.
Kulihat, Ono berpakaian serba tebal, lengkap dengan sarung tangan dan topi coklat, berdiri di samping sepedanya. Tidak biasanya Ono yang pendiam terlihat begitu emosional, sampai menyempatkan diri berhenti mengendarai sepedanya dan menyapa diriku yang sedang dalam perjalanan pulang ke apartmen. Di tengah-tengah taman barat yang dingin begini, ingin rasanya aku segera pulang dan menikmati secangkir kopi panas. Tapi pertanyaannya yang tiba-tiba diajukan memancing perhatianku.
"Mad, orang kita disebut teroris, klo ngedeketin cewe bule hanya untuk nyari ijin tinggal doang di sini (ini sih buat orang dari negara lain, bukan dari Indo), omong besar tanpa ada hasil, kerjanya ngritik, gak bisa ngehargain orang lain bahkan ekstrimis. Makanya gw ikut aktif ke mana-mana memperkenalkan diri sebagai anggota kelompok kita, orang Indonesia juga pelajar", seru Ono berapi-api kepadaku.
Aku tak bisa terima pendapat Ono dan berdalih, "Ah, masa sih separah itu?"
"Kamu gak tahu aja, Mad. Sekarang sih udah mendingan, tapi dulu mana ada kelompok lain mau bekerja sama dengan kita. Kita udah dicap jelek seperti itu. Bukan kesalahan kita (berdua) sih, tapi emang kesalahan komunitas kita. Masa dulu ada acara bersama multi-agama, udah dikonfirmasi dengan kelompok kita, udah kita informasikan tempat acaranya, eh pas acara tiba2 beberapa sesepuh dari kelompok kita tidak mau masuk ke tempat acara malah milih di luar dengan alasan tempat acara itu dalam lingkungan tempat ibadah agama lain. Itu kan namanya nge-boikot. Kita kan malu, dengan kelakuan sesepuh itu.", getir suara Ono terdengar.
Aku tetap membela, "Para sesepuh pasti punya alasan untuk hal itu. Mungkin ada hal lain yang jadi pertimbangan mereka.".
Ono menampik, "Kalau emang mereka dari awal tidak setuju, ya bilang dong! Ini aneh, diajak diskusi dan menyusun acara tidak pernah mau datang. Trus main bilang setuju aja, nah tapi pas konsep acara udah jadi, eh malah ngritik dan ngeboikot."
"Tapi, kan..."
"Kamu ingat ga tahun lalu, Mad? Waktu kamu baru datang. Diskusi di rumah merah. Para sesepuh itu menyerang abis-abisan tanpa mau mendengar alasan. Akhirnya kita mengalah dan mengikuti keinginan mereka, Mad. Tapi apa, pas acara tidak satupun dari mereka datang ke acara. Apa-apaan tuh! Itukah yang namanya menghargai?"
".....", ingin rasanya aku membela tapi tak satupun kata dapat keluar dari lidahku yang kelu. Hanya terdengar suara bebek-bebek di kolam yang berebutan mengejar roti-roti yang disebarkan di pinggir kolam oleh seorang nenek. Dingin cuaca mulai menusuk-nusuk mukaku, perih rasanya. Maklum di musim-musim dingin seperti ini, mukaku sering kering dan kalau teterpa angin dingin sedikit saja kadang terasa perih.
"Padahal apa yang dikhawatirkan oleh para sesepuh sama sekali tidak ada. Coba kalau mereka hadir ke acara, biar mereka liat sendiri apakah yang mereka khawatirkan itu muncul".
Akhirnya aku kembali buka suara, "Para sesepuh itu khawatir n paranoid kalau kita bicara tentang hal itu, No! Itu bisa ngebuka luka lama.". "Lagipula itu kan gak bisa menjadi alasan bagi orang lain untuk mencap kelompok kita dengan hal-hal yang jelek.", tegasku.
"Ok, itu baru dari soal ekstremis n gak menghargai orang, Mad. Mau contoh lainnya?", tanya Ono balik.
Aku berpikir dalam hati, "masih ada lagi? Gila, emang ngapain aja sih kita selama ini?".
Tanpa menunggu aku menjawab, Ono kembali bercerita "Selama ini, ada kegiatan besar apa yang pernah kita adakan. Di mana kita menjadi inisiator dan konseptor?".
".... Gue kan orang baru No, jadi gw gak tahu...tapi selama ini sih, setahu gw ga ada.", sedih mengakui hal ini, tapi itulah faktanya. Aku hanyalah seorang baru di kota ini. Sesuai dengan cita-cita orang tua, aku pergi meninggalkan tanah air dan mendarat di negera yang kata orang penghasil mobil-mobil eropa dengan gengsi yang tinggi. Di sini pula aku menemui komunitas Indonesia, juga kelompokku. Ternyata di komunitas ini, kelompokku dipandang rendah dan remeh.
"Itu dia Mad. KAGAK ADA. Makanya kita diremehkan, dianggap cuma omong besar doang. Makanya, gw keluar dan aktif kemana-mana sebab gw pengen kelompok kita ga dianggap remeh. Gw sadar bahwa orang lain akan melihat bahwa anggota kelompok kita gak seperti yang mereka anggap."
"Iya, No! Tapi kan seharusnya mereka gak ngecap kita gitu dong", aku tetep ga bisa terima. Aku mulai ikut emosi. Dingin yang sedari tadi kurasa tiba-tiba sirna. Mungkin emosiku menaikkan suhu tubuhku dan mengalahkan dinginnya cuaca. Ah peduli amat dengan dingin, yang pasti aku ga bisa terima kata-kata Ono.
"Betul. Tapi orang di luaran itu ngeliat bukan tujuan dan apa yang dibawa oleh kelompok kita, tapi apa yang dilakukan oleh anggota-anggota kelompok kita. Kita melakukan apapun itu mencerminkan identitas kita. Kalau orang lain pengen ngeliat bagaimana kelakuan pelajar dan dia tahu elo pelajar, dia tinggal ngeliat kelakuan elo. Kalau elo kerjanya hura-hura dan berkelahi, ya entar dia ambil kesimpulan bahwa pelajar itu sukanya hura-hura dan berkelahi. Kita ga bisa salahin mereka, kita yang harus introspeksi"
Diskusi itupun terhenti dengan diamnya aku dan perginya Ono ke tempat kerjanya. Baru aku sadari, bahwa kata-kata dia ada benarnya. Aku sering kali tidak sadar dengan citra diriku, dengan siapa diriku. Aku di sini adalah pelajar S2, orang indonesia, lulusan s1 dari Universitas Negeri Bandung, dan anggota kelompokku. Dan itulah yang orang lain lihat dari diriku.
"No, jadi kita harus gimana? Oooooiiii, No! ONO!", teriakku memanggil Ono yang sudah di kejauhan. Bayang-bayang Ono semakin menghilang dengan turunnya kabut di sekitar taman. Aku pun bergegas melanjutkan perjalanan pulang dengan pikiran yang penuh tanda tanya.
Aachen, March 21, 2007.
Sebagai persembahan untuk sahabat yang telah berbagi dan membuatku belajar banyak hal.
Monday, March 19, 2007
Batas keikhlasan
Pernah denger Seno Gumira Adjidarma? Well, klo belum, silakan buka link ini. Kebetulan saya punya satu bukunya, yang berjudul Iblis Tidak Pernah Mati: kumpulan cerita pendek. Saya sih bukan seorang penggemar cerpen, tapi dari pada ga ada bacaan di kamar mandi pas lagi BAB (maaf ^^) ya apa boleh buat.
Tadi pagi seperti biasa, untuk menemani BAB, iseng baca satu cerpen yang berjudul Jakarta, Suatu Ketika. Bercerita tentang keadaan Jakarta pada saat kerusuhan 20 Mei 1998. Bagyo, salah satu tokoh di cerpen itu dikisahkan sebagai orang miskin yang diangkat sebagai pembantu. Dia lalu dipecat karena dituduh mencuri es krim. Yaaa, bukan berarti apa yang diceritakan itu benar, hanya saja saat membaca itu kok yang terbayang tuh tentang keikhlasan ya? Padahal bukan itu inti cerita yang ingin diceritakan Pak Seno ^^.
Pernah mendengar gak orang berkata yang mirip begini, "udah capek2 saya tolong, saya .... (isi sendiri deh), eh sekarang ngelunjak. Gak ngormatin saya lagi"? Kalau ditanya balik "jadi ga ikhlas nih?", dijawab "ya ikhlas dong!". Bahkan kadang nama Allah SWT, Rosulullah SAW dan lain-lain pun disebut2 untuk mengakui keikhlasannya. Sedikit banyak di dalam hati, saya berpikir, "jadi kalau saya ditolong, saya harus menghormati sampean?".
Saya pernah dengar dari seorang ustadz, bahwa ikhlas itu adalah seperti orang membuang air besar (maaf jorok lagi ^^). Kalau mau melakukan, tidak akan bilang2, tidak akan ngajak orang lain, memilih tempat yang tidak ada orang alias sepi, dilakukan secara cepat dan tidak akan disebut2 lagi apalagi ditunjukkan buktinya. Namun, tidak semua orang mampu melakukan sesuatu (menolong orang contohnya) dengan ikhlas.
Seseorang, paling tidak saya, mengharapkan sedikit penghargaan atas apa yang dilakukan. Kalau di Indonesia, setahu saya, kalau kita ditolong oleh seseorang, maka sudah sewajarnya kalau kita menghormati orang tersebut. Tidak hanya menghormati kadang, bahkan mendekati mengidolakan atau memuja. Orang yang menolong kadang2 akhirnya malah terbiasa untuk dihormati ketika dia menolong seseorang. Maka apabila jika suatu saat dia menolong seseorang yang kemudian tidak menghormatinya, maka yang akan keluar adalah "Dasar tidak tahu terima kasih! Udah ditolong juga. Coba kalau tidak ada saya, .... (dst)".
Saya pribadi tidak setuju dengan menyebut2 kebaikan diri pada saat menolong orang lain. Apa sih yang mau didapat dengan ngomongin hal2 seperti itu? Dipuji orang lain? Enak kalo dipuji, tapi kalo malah dianggap riya', merendahkan orang yang ditolong, merendahkan orang lain yang tidak ikut menolong, gimana coba? Kan susah! Ternyata banyak masalah bisa timbul hanya karena riya atau menyebut2 kebaikan.
Tapi, gimana pun juga, saya sangat mendukung untuk menghormati orang yang telah menolong kita. Kehadiran seseorang yang mampu menolong kita di saat kita sedang benar2 membutuhkan itu adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Tidak semua orang mampu menolong pada saat kita membutuhkan. Ada unsur timing atau waktu, serta unsur resource atau bantuan untuk menolong seseorang. Maka, sudah sepantasnya kita menghormati orang yang telah menolong kita, walaupun sedikitnya bantuan yang diberikan.
Jadi teringat oleh perkataan seorang ayah teman saya, "Kalau seseorang berbuat kebaikan kepadamu, ingatlah hal itu seumur hidupmu".
Tadi pagi seperti biasa, untuk menemani BAB, iseng baca satu cerpen yang berjudul Jakarta, Suatu Ketika. Bercerita tentang keadaan Jakarta pada saat kerusuhan 20 Mei 1998. Bagyo, salah satu tokoh di cerpen itu dikisahkan sebagai orang miskin yang diangkat sebagai pembantu. Dia lalu dipecat karena dituduh mencuri es krim. Yaaa, bukan berarti apa yang diceritakan itu benar, hanya saja saat membaca itu kok yang terbayang tuh tentang keikhlasan ya? Padahal bukan itu inti cerita yang ingin diceritakan Pak Seno ^^.
Pernah mendengar gak orang berkata yang mirip begini, "udah capek2 saya tolong, saya .... (isi sendiri deh), eh sekarang ngelunjak. Gak ngormatin saya lagi"? Kalau ditanya balik "jadi ga ikhlas nih?", dijawab "ya ikhlas dong!". Bahkan kadang nama Allah SWT, Rosulullah SAW dan lain-lain pun disebut2 untuk mengakui keikhlasannya. Sedikit banyak di dalam hati, saya berpikir, "jadi kalau saya ditolong, saya harus menghormati sampean?".
Saya pernah dengar dari seorang ustadz, bahwa ikhlas itu adalah seperti orang membuang air besar (maaf jorok lagi ^^). Kalau mau melakukan, tidak akan bilang2, tidak akan ngajak orang lain, memilih tempat yang tidak ada orang alias sepi, dilakukan secara cepat dan tidak akan disebut2 lagi apalagi ditunjukkan buktinya. Namun, tidak semua orang mampu melakukan sesuatu (menolong orang contohnya) dengan ikhlas.
Seseorang, paling tidak saya, mengharapkan sedikit penghargaan atas apa yang dilakukan. Kalau di Indonesia, setahu saya, kalau kita ditolong oleh seseorang, maka sudah sewajarnya kalau kita menghormati orang tersebut. Tidak hanya menghormati kadang, bahkan mendekati mengidolakan atau memuja. Orang yang menolong kadang2 akhirnya malah terbiasa untuk dihormati ketika dia menolong seseorang. Maka apabila jika suatu saat dia menolong seseorang yang kemudian tidak menghormatinya, maka yang akan keluar adalah "Dasar tidak tahu terima kasih! Udah ditolong juga. Coba kalau tidak ada saya, .... (dst)".
Saya pribadi tidak setuju dengan menyebut2 kebaikan diri pada saat menolong orang lain. Apa sih yang mau didapat dengan ngomongin hal2 seperti itu? Dipuji orang lain? Enak kalo dipuji, tapi kalo malah dianggap riya', merendahkan orang yang ditolong, merendahkan orang lain yang tidak ikut menolong, gimana coba? Kan susah! Ternyata banyak masalah bisa timbul hanya karena riya atau menyebut2 kebaikan.
Tapi, gimana pun juga, saya sangat mendukung untuk menghormati orang yang telah menolong kita. Kehadiran seseorang yang mampu menolong kita di saat kita sedang benar2 membutuhkan itu adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Tidak semua orang mampu menolong pada saat kita membutuhkan. Ada unsur timing atau waktu, serta unsur resource atau bantuan untuk menolong seseorang. Maka, sudah sepantasnya kita menghormati orang yang telah menolong kita, walaupun sedikitnya bantuan yang diberikan.
Jadi teringat oleh perkataan seorang ayah teman saya, "Kalau seseorang berbuat kebaikan kepadamu, ingatlah hal itu seumur hidupmu".
Thursday, March 15, 2007
20 Pages to do
Hehehe..awalnya pengen nulis posting ini dalam bahasa Inggris, tapi setelah dipikir2 kan ada kemungkinan klo pembimbing thesisku iseng2 ngeliat blog gw. So, mending nulis bahasa indo aja deh.
Hari ini sesuai perjanjian dengan pembimbing, gw harus menyerahkan dua halaman draft proposal. Isi yang diinginkan adalah draft struktur thesis dan untuk tiap subsection ada minimal satu paragraf. Wew bahannya sih cukup banyak, so tidak terlalu jadi masalah bagi gw untuk menyusun semua itu. Hanya saja, bagaimana menyusun urutan struktur yang baik, itu yang menjadi masalah.
Akhirnya review pun dilakukan. Struktur proposal diubah di beberapa tempat, ada subsection baru yang perlu ditambahkan, bagaimana cara mengisi beberapa subsection lainnya. Yaa intinya banyak perbaikan. Namun hal yang menyenangkan hati adalah ketika pembimbing thesis memuji gw dengan mengatakan "I'm very satisfied with your progress these weeks. I count on you.".
Hehehehe...yesss....setelah sekian lama mendapat kritik, akhirnya dapat pujian. Bagaikan sebuah padang pasir yang disirami air hujan barang sehari. Kalimat pujian itu pun dilanjutkan dengan "Let's meet again in two weeks. I want when we meet you've already done with chapter 1 and chapter 2 which together consists of 20 pages".
Huahahahha 20 halaman. But, if I could do 2 pages, of course 20 pages won't be a problem. Met liburan di kampung halaman Pak pembimbing (Tunisia), gw yakin saat Bapak kembali, 20 halaman akan hadir di bscw server.
Hari ini sesuai perjanjian dengan pembimbing, gw harus menyerahkan dua halaman draft proposal. Isi yang diinginkan adalah draft struktur thesis dan untuk tiap subsection ada minimal satu paragraf. Wew bahannya sih cukup banyak, so tidak terlalu jadi masalah bagi gw untuk menyusun semua itu. Hanya saja, bagaimana menyusun urutan struktur yang baik, itu yang menjadi masalah.
Akhirnya review pun dilakukan. Struktur proposal diubah di beberapa tempat, ada subsection baru yang perlu ditambahkan, bagaimana cara mengisi beberapa subsection lainnya. Yaa intinya banyak perbaikan. Namun hal yang menyenangkan hati adalah ketika pembimbing thesis memuji gw dengan mengatakan "I'm very satisfied with your progress these weeks. I count on you.".
Hehehehe...yesss....setelah sekian lama mendapat kritik, akhirnya dapat pujian. Bagaikan sebuah padang pasir yang disirami air hujan barang sehari. Kalimat pujian itu pun dilanjutkan dengan "Let's meet again in two weeks. I want when we meet you've already done with chapter 1 and chapter 2 which together consists of 20 pages".
Huahahahha 20 halaman. But, if I could do 2 pages, of course 20 pages won't be a problem. Met liburan di kampung halaman Pak pembimbing (Tunisia), gw yakin saat Bapak kembali, 20 halaman akan hadir di bscw server.
Monday, March 12, 2007
My Programmer Personality Test result
Hehehe setelah menjalani test ternyata gw tuh...
Test di-refer dari Habib, trus linknya di sini.
Your programmer personality type is:
DHTB
You're a Doer.
You are very quick at getting tasks done. You believe the outcome is the most important part of a task and the faster you can reach that outcome the better. After all, time is money.
You like coding at a High level.
The world is made up of objects and components, you should create your programs in the same way.
You work best in a Team.
A good group is better than the sum of it's parts. The only thing better than a genius programmer is a cohesive group of genius programmers.
You are a liBeral programmer.
Programming is a complex task and you should use white space and comments as freely as possible to help simplify the task. We're not writing on paper anymore so we can take up as much room as we need.
Test di-refer dari Habib, trus linknya di sini.
Your programmer personality type is:
DHTB
You're a Doer.
You are very quick at getting tasks done. You believe the outcome is the most important part of a task and the faster you can reach that outcome the better. After all, time is money.
You like coding at a High level.
The world is made up of objects and components, you should create your programs in the same way.
You work best in a Team.
A good group is better than the sum of it's parts. The only thing better than a genius programmer is a cohesive group of genius programmers.
You are a liBeral programmer.
Programming is a complex task and you should use white space and comments as freely as possible to help simplify the task. We're not writing on paper anymore so we can take up as much room as we need.
Uploading foto ke profile
Ok, kawan2 dah liat foto di samping? Pada bagian Siapa Gw, capture ada di sebelah kiri posting ini nih..
<----- Setelah bersusah payah berusaha meng-upload akhirnya berhasil juga. Hehehe jadi malu..padahal yang lain keliatannya gampang2 aja untuk nambahin foto, ko gw kesulitan ya? Ok jadi gini caranya,
- Klik link "View my complete profile", dan halaman akan di-redirect ke laman "user profile" anda.
- Klik tombol/link "EDIT YOUR PROFILE", dan halaman akan di-redirect ke laman "Edit user profile" anda
- Scroll down ke bagian Photograph dan anda akan menemukan input text "Photo URL"
- Kopi link URL dari hosting foto anda
- Scroll down ke bagian paling bawah untuk meng-klik "Save Profile, and done
Cara mengupload foto ke picasa, kalau udah punya account google (langkah 1-5), untuk upload dan mendapatkan link dari foto yang diupload (1-6):
- Pergilah ke laman "http://picasaweb.google.com/" dan login dengan accout google anda
- Klik tombol "Upload Photos" pada bagian kanan laman, akan muncul dialog box yang meminta anda mendefisikan album baru atau memilih yang lama
- Album baru :: Beri title pada foto2 yang anda mau, set ke public lalu klik "continue", akan diredirect ke laman untuk upload photos
- Pilihlah foto2 yang mau diupload, lalu klik "Start upload"
- Foto2 anda akan dimunculkan di sebuah laman
- Klik kanan di salah satu foto, lalu klik "Copy Image Location"
Friday, March 9, 2007
Gak salah tuh proposal!!!
In the last meeting, Mr. Chatti (my supervisor) said that now I should read some proposal so that I could start preparing the needed materials. He gave some references of the current thesis and finished one. One of the reference is nanda's proposal. Soo I go to my institute's CSCW website to take a look at them.
What a shock....one proposal consists of 50-70 pages. Wew...in my mind, I think how many pages I could write for a proposal.....
T_T
Still, I learned from my past, from my bachelor time, when I wanted to write for my last project. I was shocked and not confident to write 60 pages. But at the end of the process, I became confused because I needed to reduce the pages from 70 to 60. ^^
Its weird, why I usually underestimate myself first? Why I usually think the negative way in front of a lot of chance and opportunity? I hope its not an inferiority complex.
My friend said, There are a lot of reason to argue WE CANT DO something, but there's always one reason to say WE CAN!!!!!
I CAN WRITE THAT PROPOSAL!!!!!!
What a shock....one proposal consists of 50-70 pages. Wew...in my mind, I think how many pages I could write for a proposal.....
T_T
Still, I learned from my past, from my bachelor time, when I wanted to write for my last project. I was shocked and not confident to write 60 pages. But at the end of the process, I became confused because I needed to reduce the pages from 70 to 60. ^^
Its weird, why I usually underestimate myself first? Why I usually think the negative way in front of a lot of chance and opportunity? I hope its not an inferiority complex.
My friend said, There are a lot of reason to argue WE CANT DO something, but there's always one reason to say WE CAN!!!!!
I CAN WRITE THAT PROPOSAL!!!!!!
Thursday, March 8, 2007
Apakah kita terbiasa dengan Bandwagon Effect?
Tidak biasanya, hari ini gw berhasil membaca hampir satu artikel thesis. Fiiuuuh...for me, it is as hard as not to sleep in the morning. Well in one of the term, which usually I dont understand, there's an interesting one, Bandwagon Effect.
Bandwagon effect dapat didefinisikan sebagai kecenderungan orang-orang melakukan atau mempercayai sesuatu karena mayoritas orang melakukan atau mempercayai hal itu. Salah satu contohnya adalah, dalam bidang sains, seorang saintis cenderung melakukan self-censorship terhadap hasil penelitiannya apabila hasilnya (cukup) berbeda dengan kesepakatan bersama (accepted wisdom). Contohnya, kalau menurut kesepakatan bersama jarak antara matahari dengan pusat galaksi adalah A, lalu seorang saintis melakukan percobaan dengan metode pengukuran yang lebih baru dan modern, lalu mendapatkan hasil yang cukup berbeda. Yang pertama kali dilakukan adalah mengecek metode pengukuran serta kalkulasi berulang kali, sebelum diterbitkan. Bahkan pada kasus terburuk, hasil pengukuran itu tidak akan pernah diterbitkan. Sedangkan, jika hasil pengukuran menunjukkan hasil yang mirip dengan kesepakatan, maka hasil itu akan diterbitkan tanpa kritik lebih lanjut.
Nah persoalannya sekarang, apakah kita juga terbiasa dengan hal itu? Pada saat kita akan melakukan sesuatu yang berbeda dengan pandangan orang pada umumnya, akankah kita berpikir beratus2 kali sebelum melakukannya? Atau "bodo amat dengan orang lain", just do it? Saya sendiri mengakui bahwa saya masih terpengaruh dengan bandwagon effect ini. Saya selama ini lebih sering mengikuti pendapat orang banyak untuk masuk dalam komunitas orang banyak daripada mengikuti pendapat sendiri dan teralienasi dari komunitas.
Bagaimana dengan anda?
Bandwagon effect dapat didefinisikan sebagai kecenderungan orang-orang melakukan atau mempercayai sesuatu karena mayoritas orang melakukan atau mempercayai hal itu. Salah satu contohnya adalah, dalam bidang sains, seorang saintis cenderung melakukan self-censorship terhadap hasil penelitiannya apabila hasilnya (cukup) berbeda dengan kesepakatan bersama (accepted wisdom). Contohnya, kalau menurut kesepakatan bersama jarak antara matahari dengan pusat galaksi adalah A, lalu seorang saintis melakukan percobaan dengan metode pengukuran yang lebih baru dan modern, lalu mendapatkan hasil yang cukup berbeda. Yang pertama kali dilakukan adalah mengecek metode pengukuran serta kalkulasi berulang kali, sebelum diterbitkan. Bahkan pada kasus terburuk, hasil pengukuran itu tidak akan pernah diterbitkan. Sedangkan, jika hasil pengukuran menunjukkan hasil yang mirip dengan kesepakatan, maka hasil itu akan diterbitkan tanpa kritik lebih lanjut.
Nah persoalannya sekarang, apakah kita juga terbiasa dengan hal itu? Pada saat kita akan melakukan sesuatu yang berbeda dengan pandangan orang pada umumnya, akankah kita berpikir beratus2 kali sebelum melakukannya? Atau "bodo amat dengan orang lain", just do it? Saya sendiri mengakui bahwa saya masih terpengaruh dengan bandwagon effect ini. Saya selama ini lebih sering mengikuti pendapat orang banyak untuk masuk dalam komunitas orang banyak daripada mengikuti pendapat sendiri dan teralienasi dari komunitas.
Bagaimana dengan anda?
Tuesday, March 6, 2007
Put more efforts into searching and reading...
Malu deh rasanya...tadi ketemu ama supervisor thesis. Trus supervisornya bilang, "you must put more efforts into searching and reading". Dia tahu klo gw seminggu ini mengalami sindrom kemalasan tiada henti. Dia juga menyoroti persoalan teknik pencarian referensiku.
Saat ini bagi mahasiswa yang thesis di lehrstuhl informatik5 di RWTH Aachen, disediakan collaborative software untuk membantu komunikasi antara supervisor dan mahasiswa thesis. Nah, di software ini telah diupload oleh Mr. Chatti beberapa link untuk menjadi acuan pencarian referensi. Beliau mengharapkan agar semua pencarian referensi yang kulakukan berawal dari link2 tersebut. Namun yang kulakukan adalah yang sebaliknya. Well, its my mistake, I acknowledge it.
Namun, yang jadi persoalan utama adalah beliau bisa tahu dari pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan ttg materi thesis bahwa aku masih kurang baca n ada beberapa teknik pencarian referensiku yang salah. Hueee malu..... T_T
Well, it means that I need to put more efforts and concentration to overcome my laziness and be success
Saat ini bagi mahasiswa yang thesis di lehrstuhl informatik5 di RWTH Aachen, disediakan collaborative software untuk membantu komunikasi antara supervisor dan mahasiswa thesis. Nah, di software ini telah diupload oleh Mr. Chatti beberapa link untuk menjadi acuan pencarian referensi. Beliau mengharapkan agar semua pencarian referensi yang kulakukan berawal dari link2 tersebut. Namun yang kulakukan adalah yang sebaliknya. Well, its my mistake, I acknowledge it.
Namun, yang jadi persoalan utama adalah beliau bisa tahu dari pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan ttg materi thesis bahwa aku masih kurang baca n ada beberapa teknik pencarian referensiku yang salah. Hueee malu..... T_T
Well, it means that I need to put more efforts and concentration to overcome my laziness and be success
Thursday, March 1, 2007
Viewing Video in My Blog
Setelah berkali2 gagal, akhirnya berhasil juga untuk menampilkan video di blog gw ^^.
Ok gini caranya...
- Upload videomu ke salah sebuah website, misalnya youtube.
- Copy the embed from youtube
- Buat sebuah blog baru dan paste the embed
- Simpan blog-mu lalu publish
- done and enjoy^^
Kenapa harus pakai blogger?
OK....setelah beberapa kali explorasi, akhirnya dicapai kesimpulan. Kenapa mein Betreuer (supervisor) meminta gw untuk mengeksplorasi blogger.com.
Wew blogger.com memfasilitasi kita untuk mengatur sepenuhnya layout blog kita. Seperti pada gambar di samping. Ini adalah antarmuka untuk mengatur layout blog kita. Ada 5 bagian utama pada layout blogger, yaitu navigation bar, header, blog (body), element (side body) dan footer.
Ada beberapa hal yang bisa ditambahkan terhadap antarmuka atau layout blogger:
1. List
2. Linked-list
3. Figure
4. Text
5. HTML/JavaScript
6. AdSense
7. Feed
8. Labels
9. Logo
10. Profil
11. Blog-Archive
Bagaimana hal ini bisa mendukung pembangungan PLE (Personal Learning Environment) ? Hal ini akan diceritakan pada blog berikutnya
Subscribe to:
Posts (Atom)