Monday, April 30, 2007

I am 40% Left Brained, 60% Right Brained

Di blog Alfin, gw ngeliat test yang menarik. Akhirnya gw coba n beginilah hasilnya...

You Are 40% Left Brained, 60% Right Brained

The left side of your brain controls verbal ability, attention to detail, and reasoning.
Left brained people are good at communication and persuading others.
If you're left brained, you are likely good at math and logic.
Your left brain prefers dogs, reading, and quiet.

The right side of your brain is all about creativity and flexibility.
Daring and intuitive, right brained people see the world in their unique way.
If you're right brained, you likely have a talent for creative writing and art.
Your right brain prefers day dreaming, philosophy, and sports.

MUAK

Ketika sebuah perkembangan hanya dilihat dari sisi sebuah software
Ketika sebuah pembelajaran dilihat dari sisi sebuah pertanyaan
Ketika sebuah ketidakrutinan memutakhirkan hasil berarti ketiadaan kemajuan
Ketika sebuah ketidakmampuan mencurahkan ide dianggap sebagai kemunduran
Ketika lagi-lagi dihadapkan oleh kegagalan

Hanya satu kata yang terpikir
MUAK

Saat kebosanan menyeruak di dalam hati
Saat masa lalu kembali menghantui
Saat semua peristiwa kembali membawa arti
Saat hati kecil tidak mampu lagi untuk ditanya keinginan diri
Saat lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan lama kembali hadir di sini
Saat nanar mata meneteskan setitik air di pipi
Saat kesunyian malam kembali menyelimuti
Saat hanya sebuah file mp3 diputar terus berulang kali

We didn't start the fire
It was always burning
Since the world's been turning
We didn't start the fire
No we didn't light it
But we tried to fight it
...

Lagi-lagi aku MUAK

Ingin rasanya melontar sumpah serapah
Namun, semua hanya tertahan di ujung lidah
Ide-ide brilian yang biasa dengan mudah tertumpah
Hanya terlihat sebagai sampah
Ingin rasanya menikmati nikmatnya sebuah rebah
Tapi saat mata terpejam, yang terasa hanyalah resah

Memang aku sedang MUAK
Untuk kesekian kalinya kututup mataku dan kudengar lagu itu dari komputerku

I CANT TAKE IT ANYMORE!!!
We didn't start the fire
But when we are gone
Will it still burn on, and on, and on, and on...
Billy Joel in We didn't start the fire

Bagus juga, pikirku....
kayaknya bisa menemani malamku yang sedang penuh dengan MUAK

Aachen, April 30, 2007

di tengah kesunyian pagi
ditemani komputer yang terus menyala dan mp3 yang terus berulang

Wednesday, April 18, 2007

Preambule of PLE - 3 (E-Learning)

OK, sekarang saatnya saya melanjutkan posting tentang thesis saya. Sebelumnya saya telah mengungkapkan latar belakang dari sisi learning dan tools (LMS). Sekarang saya akan mencoba mengungkapkannya dari segi E-Learning.

E-Learning

Apa sih definisi E-Learning? Wew, sebenarnya telah banyak definisi diungkapkan dan ternyata sampai sekarang orang belum sepakat juga tentang definisi e-Learning. Horton mengungkapkan salah satu definisi, eLearning is the use of information and computer technologies to create learning processes. Juga Thomas Baumann, e-Learning is the teaching and learning with and in the internet. Bagi saya pribadi, saya bayangkan e-Learning sebagai sebuah sistem yang memungkinkan seseorang mempelajari sesuatu, baik untuk kepentingan pendidikan, pekerjaan ataupun hal lain via internet ataupun fasilitas sejenisnya.

Kenapa sih E-Learning ini penting? Gambarang paling mudah adalah persoalan perkembangan teknologi informasi dan komputer (Information and Computer Technology = ICT) juga demografi. Dengan teknologi yang ada telah banyak produk terintegrasi yang diperkenalkan kepada masyarakat, sebagai contoh integrasi kamera, organizer dan digital camera. Selain itu, informasi sekarang memegang peranan penting dalam mengubah dunia. Hal ini dapat terlihat dari daftar orang-orang terkaya dunia, yang ternyata dipenuhi oleh orang-orang yang bergerak di bidang informasi. Contoh termudah, Bill Gates dengan Microsoftnya. Teknologi juga mengubah gaya hidup orang banyak. Semakin banyak orang yang terbiasa membuka, membaca dan membalas email-email sebelum bekerja; internet surfing; bermain internet games; bahkan internet shopping.

Alfred Bork, menyatakan bahwa hampir semua orang belajar dalam one-on-one environment, maksudnya jika punya tutor khusus ataupun diajar oleh guru yang kompeten. Namun, ini tidak mungkin. Di sekolah Indo 1 guru untuk 25-40 murid, di universitas lebih parah lagi 1 dosen untuk 50-2000 (jerman). Bayangkan ada banyak orang yang ingin belajar di suatu universitas tapi kemampuan universitas untuk menampung para mahasiswa ini sangatlah terbatas. Menurut kuliah E-Learning, target pemerintah jerman adalah 50% orang jerman di tahun 2015 mencicipi universitas. Hal ini tentunya adalah hal yang sangat sulit, mau dibangun berapa banyak universitas? Dan kalaupun berhasil, apakah bisa dicari sekian banyak orang yang punya kapabilitas mengajar? Itu baru dari orang jerman saja, bagaimana dengan auslander (orang luar negri)? Apalagi kemajuan pendidikan tidak hanya di eropa tetapi juga di negara2 berkembang. Bagaimana dengan mereka? Dengan begitu, solusi e-Learning bagaikan oasis di tengah padang pasir.

Namun, ternyata dalam perkembangannya e-Learning pun mengalami pasang surut. Banyak pihak yang merasa e-Learning sekarang ini adalah LMS, dan menurut riset2, LMS pun tidak dapat menjawab semua tantangan e-Learning. Sebagai contoh adalah munculnya generasi baru yang disebut Homo Zappiens. Wim Veen menyatakan bahwa mereka ini adalah anak-anak/orang-orang yang sejak kecil telah terbiasa menggunakan 3 hal, remote control (televisi), mouse (komputer) dan ponsel. Homo zappiens adalah self-directed learner, mereka terbiasa belajar dengan cara mereka sendiri. Bagi mereka, school is boring and game is cool. Kali ini kembali untuk kesekian kalinya, e-Learning pun ditantang untuk bisa mengakomodasikan learning bagi generasi baru ini.

Aachen, 18 April 2007

PS: susunan dan urutan penyajian ide-ku keliatannya agak kacau di sini. Hmmm...komentar tentang hal yang saya sajikan di atas sangat diharapkan

Tutup STPDN? : Silang Pendapat tentang STPDN/IPDN

Dulu waktu ada kejadian matinya seorang praja STPDN, banyak pihak mengutuk STPDN. Termasuk gw. Gw pikir, ini kampus preman abis sih? Seorang opsir militer aka tentara yang ditanya mengenai pendidikan (kekerasan) di STPDN saja sampai berkata, kira2 begini (redaksi tepatnya lupa) "Itu bukan pendidikan militer, tapi kekerasan. Dalam pendidikan kemiliteran kami ditempa untuk melatih fisik dan mental. Hukuman yang dibebankan ke kami pun bersifat latihan fisik ataupun mental seperti push up, atau lari keliling lapangan. Itupun setelah fisik dan mental kami dipersiapkan.". Maka ketika orang-orang berteriak, "bubarkan STDPN", saya pun berteriak, "SETUJU!!!".

Akhirnya STPDN pun dibubarkan, eh ganti nama maksudnya, jadi IPDN. Kali ini terjadi lagi. Seorang praja meninggal dan diduga meninggal akibat penganiayaan. Seorang dosen IPDN, Inu Kencana, berteriak lantang meminta agar kasus ini dibongkar tuntas. Kembali orang-orang berteriak, "bubarkan IPDN", dan saya pun awalnya akan berteriak hal yang sama. Sampai suatu ketika tersasar ke forum komunitas alumni STPDN/IPDN.

Orang-orang berteriak bubarkan STPDN/IPDN akibat institusi yang lalai dan membiarkan terjadinya lebih dari 30 orang korban selama berdirinya institusi itu. Namun, para alumni STPDN pun menjawab, "Jangan hanya melihat 30 orang yang mati. Tapi lihat pula puluhan ribu orang yang telah berhasil dihasilkan oleh STPDN dan membaktikan diri pada negara." Alumni ini ada benarnya juga. Entah karena di-blow up oleh media, sekarang terkesan STPDN benar-benar menjadi institusi terburuk se-Indonesia. Kalau kita melihat ospek di perguruan tinggi lain, apakah juga tidak ada korban jiwa? Saya rasa ada, hanya tidak masuk ke dalam berita saja. Tapi tentang pernyataan puluhan ribu alumni yang berhasil dicetak oleh STPDN juga perlu dikritisi. Apa benar?

Orang-orang berteriak "STPDN penuh dengan kekerasan dan membawa korban", dan para alumni menjawab, "Saya beberapa tahun di sana dan lulus. Sampai sekarang saya sehat2 saja.". Orang-orang berkata "karena STPDN telah membiarkan banyak korban, tutup STPDN", para alumni pun menjawab "Jangan karena ada seekor tikus, maka satu lumbung dibakar. STPDN itu ..... (pokoknya kebaikan STPDN ditulis semua. Saya tak tulis karena saya tak bisa lagi mengakses situs tersebut)". Dalam chat dengan teman, teman saya berkata bahwa untuk pembiayaan makan anak2 STPDN saja udah menghabiskan 150 M, jadi udah sepantasnya kalau mereka jaga kelakuan. Hmm...saya sendiri juga malu dengan pernyataan itu. Sedikit banyak saya merasa terkena sindir. Sewaktu kuliah di Indonesia, yang jelas-jelas disubsidi oleh dana pemerintah, saya terlambat 1 semester. Bagaimana dengan kawan-kawan yang meng-optimal-kan waktu 7 tahun untuk kuliah? apakah itu juga termasuk ke dalam perbuatan "tidak menjaga kelakuan"?

Di media juga diberitakan bahwa Inu Kencana disebut2 sebagai pahlawan. Namun, apakah itu juga benar? Saya tidak bisa menjawab, sebab beberapa Alumni menyatakan beberapa kejelekan tentang Inu Kencana. Tentang hal freesex IPDN, saya sih hanya tertawa. Plis dong, emangnya hanya IPDN yang melakukannya? Udah jadi rahasia umum, banyak kota di Indonesia telah terkena kasus ini, termasuk juga mahasiswa2nya. So, apakah karena ini IPDN juga harus dibenci? Saya penentang freesex tapi saya tak bisa menerima argumen IPDN harus ditutup karena praja-praji-nya mesum.

Bagi saya, kasus2 IPDN tetap harus diusut. Keberadaan IPDN sendiri juga perlu dipertimbangkan, perlu dipertahankan atau ditutup. Tapi alasan penutupan bukan karena kekerasan yang terjadi, bukan pula akibat kemesumannya. Kalau hanya ingin menghentikan kekerasan dan kemesuman, buatlah pendidikan yang benar, sanksi yang adil, peraturan yang ketat serta kalau perlu ganti orang2 yang memegang sistem di IPDN. Jangan biarkan kekerasan menjadi tradisi dan mendarah daging. Jangan juga biarkan nyawa 30-an orang yang hilang, adalah perlu sebagai kompensasi bagi keberhasilan puluhan ribu orang.

Alasan penutupan harusnya alasan yang logis. Masih perlukan IPDN bagi perkembangan Indonesia? Apakah ilmu-ilmunya tidak diajarkan di tempat lain atau bahkan mungkin universitas2 yang ada lebih dari cukup? Masih perlukan IPDN diberi dana sebanyak yang sekarang? Selama yang didapat hanya jawaban negatif atas pertanyaan-pertanyaan itu, maka "TUTUP IPDN". Jika masih banyak positifnya, "ROMBAK SISTEM DI IPDN". Cukup kehancuran PT. DI (Nurtanio dulu), menjadi pelajaran bahwa sekedar perhitungan budget yang tidak cukup, emosi atas simbol orde baru, ada kemungkinan penyimpangan membuat orang-orang terbaik di Indonesia pergi ke luar negeri.

PS: pernyataan gw yang terakhir kayaknya ga nyambung deh.

Persembahan untuk Bang Jamz atas dialog dan opininya.

Aachen, 18 April 2007

Sunday, April 15, 2007

Anak Indonesia Tidak Punya Hobi

Dalam sebuah email saya baca, diceritakan tentang opini seorang Belanda yang berkesempatan mengunjungi beberapa kota di Indonesia. Kesan positif yang dia dapat adalah keramahan orang Indonesia, terutama terhadap orang luar negeri. Ada rasa bangga kalau rumah mereka telah dikunjungi oleh orang luar negeri, entah ini positif atau tidak, saya tak bisa berpendapat. Namun, pendapat yang lebih menggelitik pikiran yang diungkapkan oleh orang Belanda ini adalah tentang bagaimana cara orang Indonesia untuk membelanjakan uangnya.

Menurutnya, orang Indonesia itu adalah orang yang tidak mempunyai hobi dan kurang memikirkan investasi pendidikan bagi anaknya. Kebanyakan anak Indonesia setiap harinya hanya bermain di sekitar rumah mereka. Orang tua mereka tidak berusaha mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang berguna, seperti olah raga, bela diri, kerajinan tangan, seni. Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa mempunyai sebuah hobi yang membangun, dan pada akhirnya hal itu pulalah yang dilakukan terhadap anak-anaknya. Salah satu faktor adalah karena orang tua ini kerjanya hanya menonton televisi, berbincang atau bergosip dengan tetangga, ataupun tidur.

Saat baru setengah membaca opini orang Belanda tersebut, saya menentang sambil mengatakan bahwa itu terjadi karena orang-orang tua tersebut tidak mempunyai uang untuk berinvestasi kepada pendidikan anaknya. Namun, setengah bagian terakhir opini tersebut, tersirat bahwa hal ini ternyata juga melanda kalangan menengah ke atas. Pada saat orang tua mempunyai uang, yang dilakukan adalah melaksanakan pesta; membeli mobil, televisi, dan peralatan lain; ataupun menghabiskannya untuk hal-hal tak berguna. Kalau saya perhatikan tentang beberapa keluarga, ternyata betul. Dengan alasan tidak mau anaknya bergaul yang tidak betul di luaran, disediakanlah berbagai fasilitas untuk "memenjarakan" anak di dalam rumah. Di dalam kamar anak disediakan televisi, komputer, playstation, internet untuk menjaga agar anak tidak keluar rumah. Pada akhirnya tidak hanya anak-anak ini tumbuh tanpa hobi (selain ngoprek komputer ya, itu hobi bagus), tetapi dapat juga menjadi anti-sosial dan tidak mampu berempati terhadap orang lain. Bahkan yang saya dengar belakangan sedang menjadi trend adalah hangout di mall. Jadi orang tua mengantarkan sang anak ke mall (jam 13.00), kemudian memberikan sejumlah uang. Sang anak akan menggunakan uang tersebut untuk menghabiskan waktu dengan teman-temannya, entah untuk makan, nonton bioskop ataupun belanja. Pada jam yang ditentukan, orang tua akan menjemput sang anak di mall (jam 21.00). Praktis, 8 jam dihabiskan sang anak untuk gosip, nonton ataupun belanja.

Memang hal ini tidak terlepas dari tingkat pendidikan orang tua tersebut. Di jerman sendiri, orang-orang tua yang berpendidikan telah melakukan hal ini. Dalam pemikiran mereka, lebih baik mempunyai sedikit anak tetapi anak tersebut tumbuh dengan potensi yang penuh dibandingkan banyak anak tapi tidak jelas akan menjadi apa mereka. Oleh sebab itu, salah satu penyebab orang-orang jerman tidak mau mempunyai anak adalah tingginya biaya yang perlu diinvestasikan terhadap satu anak. Investasi yang benar terhadap seorang anak di jerman sampai dia masuk kuliah setara dengan membeli sebuah rumah.

Namun terlepas dari semua itu, saya berpikir ada baiknya kalau kita mulai memperhatikan investasi pendidikan anak. Tidak perlu yang mahal-mahal lah, seperti di sini. Sebagai contoh dengan memasukkannya ke taman pendidikan Al Quran atau madrasah; jika mempunyai uang lebih, dapat juga beri les tambahan di bidang olah raga ataupun seni. Namun tentunya semua disesuaikan dengan keinginan anak itu sendiri. Tentunya akan menjadi kontra-produktif apabila pada akhirnya hanya kehendak dan perintah orang tua yang berbicara tanpa adanya dialog dengan anak.

PS: Kok gw ngomong udah kayak psikolog anak aja ya? Sok tahu abis...

Aachen. 15 April 2007

Disarikan dari email dan hasil diskusi dengan beberapa pihak.

Persembahan bagi Sri Tunruang.

Thursday, April 12, 2007

Preambule of PLE - 2 (LMS)

Dalam posting sebelumnya, saya menceritakan tentang lifelong learning dan informal learning yang menjadi latar belakang dari pengembangan thesis saya ini. Pada posting ini, saya berniat menceritakan hal lain yang mendasari ide PLE, yaitu

Learning Managemen Systems (LMS)

LMS didefinisikan sebagai sistem yang didesain untuk memfasilitasi guru-guru dalam manajemen pembelajaran (kalau di universitas, perkuliahan) bagi murid-muridnya, terutama dalam membantu para guru dan pelajar dengan administrasi perkuliahan. System ini biasanya berjalan di sebuah server terpusat (centralized server) dan dapat diakses lewat internet (ataupun jaringan lokal) bagi para muridnya. Sebagai contoh kasus, berikut ini adalah LMS untuk kegiatan perkuliahan. Fasilitas utama yang dimiliki oleh LMS biasanya meliputi administrasi silabus perkuliahan, pendaftaran peserta kuliah, administrasi materi perkuliahan, administrasi ujian dan quiz, juga administrasi peran pengguna (user roles as theachers or students). Tidak lupa disediakan fasilitas discussion forum, chat, instant messaging, email, juga file upload-download. LMS juga sering disebut sebagai Virtual Learning Environment (VLE), learning content management systems (LCMS), course management systems (CMS), ataupun content management systems (CMS). Contoh-contoh LMS yang cukup terkenal adalah WebCT, Blackboard, Moodle, ATutor, ILIAS, Plone, dan Drupal. Saat ini telah cukup banyak LMS digunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan di eropa.

Persoalan yang dihadapi oleh LMS

Seperti dideskripsikan di definisinya, LMS ditujukan untuk manajemen dan memfasilitasi kegiatan belajar mengajar, tetapi tidak ditujukan untuk kegiatan-kegiatan belajar mandiri para penggunanya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa akan kesulitan untuk melakukan eksplorasi mandiri tentang teknologi java, misalnya. Karena fungsi-fungsi di dalam LMS kurang mendukung untuk kegiatan itu. Berdasarkan riset, LMS sendiri lebih banyak membantu efektifitas manajemen perkuliahan, tetapi tidak membantu banyak kepada efek pembelajaran (pedagogik) yang diharapkan.

LMS yang digunakan oleh satu institusi, biasanya tidak akan dapat diakses oleh orang dari luar institusi itu sendiri. Akibatnya, apabila seseorang meninggalkan suatu institusi, karena lulus misalnya, semua resource yang telah dia kumpulkan, atur, dan susun dalam LMS di institusi yang dia tinggalkan tidak akan dapat diakses lewat institusi barunya, misalnya karena accountnya dihapus setelah kelulusan.

Selain itu, LMS sering kali merupakan sebuah "fit-for-all application", yaitu aplikasi yang menyediakan semua fitur yang diperlukan. Aplikasi-aplikasi ini sebagai akibat dari para pembeli aplikasi yang naif yang menginginkan agar LMS mempunyai semua fitur yang mungkin saja tidak dia butuhkan. Sebagai akibatnya, LMS dapat melakukan banyak hal tetapi tidak sebaik yang dihasilkan oleh aplikasi-aplikasi yang ditujukan khusus untuk fitur tersebut. Jay Cross menyatakan bahwa aplikasi-aplikasi ini bagaikan Swiss Army Knife. Semua alat ada, mulai dari gunting, pisau, pembuka tutup botol, obeng, dll. Sangat bagus apabila suatu saat kita butuh untuk menggunting kertas atau mungkin membuka tutup sebuah botol. Namun jika ada 100 kertas atau 100 botol, akan lebih mudah jika kita menggunakan pembuka botol yang sebenarnya maupun gunting khusus untuk kertas. Selain itu, banyaknya fitur membuat pengguna membutuhkan waktu untuk beradaptasi menggunakan fitur-fitur tersebut, yang mungkin pada akhirnya tidak mampu melaksanakan tugas sebaik tools lain yang sering digunakan.

Pada akhirnya, sebuah pendekatan baru yang dapat men-tackle (menghadapi) persoalan-persoalan yang dihadapi oleh LMS menjadi pokok persoalan dalam thesis yang sedang dibuat.

Thursday, April 5, 2007

Preambule of PLE

Akhirnya tiba saatnya saya menceritakan sedikit banyak mengenai Personal Learning Environment (PLE). Namun sebelum masuk ke PLE, ada baiknya kalau saya ceritakan dulu apa yang melatarbelakangi ide PLE ini.

Learning and Informal Learning

Skala perubahan sosial-ekonomi, transisi pesat ke arah masyarakat berbasis pengetahuan serta tekanan demografi akibat populasi yang menua di eropa adalah semua tantangan yang membutuhkan pendekatan baru bagi pendidikan dan pelatihan, dalam framework lifelong learning. Dalam kalimat singkatnya, perkembangan teknologi di tahun-tahun belakangan ini membuat pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang menjadi semakin cepat basi aka out-of-date. Selain itu, implementasi teknologi dalam lingkungan kerja seiring dengan instabilitas lapangan kerja menjadi alasan agar para pekerja untuk terus memutakhirkan (update) ketrampilan dan pengetahuannya ataupun mempelajari keahlian-keahlian baru. Gentingnya tantangan ini mendorong EU untuk merundingkan persoalan ini dalam council meeting di Lisabon dan Stockholm. Dari sana lahirlah sebuah rencana untuk mengimplementasikan lifelong learning (LLL). LLL dapat didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang sepanjang hidup mereka untuk meningkatkan pengetahuan, skill dan kompetensi mereka dalam bidang tertentu atas dasar alasan-alasan pribadi, kemasyarakatan ataupun pekerjaan. Namun, dalam pelaksanaannya langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah eropa lebih menitikberatkan kepada peningkatan pendidikan formal, pelatihan formal ataupun workshop-workshop.

Dalam kenyataannya, seseorang mempelajari dan menimba ilmu untuk melakukan pekerjaannya secara informal. Pelatihan formal dan workshop hanya menyumbang 10% - 20% dari apa yang dipelajari dalam bekerja. Conner menyebutkan bahwa kebanyakan orang belajar lewat pengalaman selama bekerja (>33%), interaksi dengan rekan kerja (>18%), instruksi atau nasehat dari kolega (10%), dan pelatihan (10%). Hal-hal ini dikategorikan sebagai informal learning. Kebanyakan perusahaan lebih banyak menginvestasikan anggaran bagi pendidikan atau pelatihan formal tetapi melupakan cara untuk belajar yang lebih alamiah dan sederhana.

Banyak pekerja berpengetahuan (knowledge worker) ingin belajar (learn) tetapi tidak suka untuk dilatih (trained) atau diinstruksi. Training adalah sesuatu yang dibebankan atau dipaksakan terhadap seseorang, sedangkan learning adalah sesuatu yang mereka pilih. Oleh karena itulah, para pekerja berpengetahuan berkembang dengan pesat ketika diberi kebebasan untuk menentukan bagaimana cara mereka belajar. Bagi orang-orang ini, formal learning bagaikan pergi ke suatu tempat dengan naik bus, yaitu supir menentukan jalur-jalur yang akan ditempuh. Di lain pihak, informal learning bagaikan mengendarai motor, di mana pengendara bebas menentukan tujuan dan rute yang akan dilalui. Pengendara motor ini bebas untuk mengambil jalan memutar, baik untuk menikmati pemandangan ataupun membantu pengendara yang lain.

Dari fenomena-fenomena ini, yaitu LLL dan informal learning, didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi muncul pertanyaan, apakah mungkin untuk memfasilitasi LLL dan informal learning dengan bantuan teknologi infomasi dan komunikasi?

Wednesday, April 4, 2007

Kegundahan yang menuntun untuk berpikir


Yah, sekali lagi, aku kesulitan untuk menulis proposal thesis. Payah nih, sedih banget. Padahal sudah berjanji kepada diri sendiri untuk berjuang sekuat mungkin untuk selesai kuliah secepatnya, lalu kembali ke ibu pertiwi secepatnya. (omong-omong ibu pertiwi itu siapa ya? rasanya belum kenal). Jadi teringat kata seorang teman, janji kepada diri sendiri, sering kali menjadi janji yang paling sering dilanggar. Mungkin karena tidak mempunyai daya ikat yang cukup kuat kali ya? Wallahu 'Alam.

Belakangan ini lagi sering gundah. Memikirkan hal yang ga penting juga ga jelas, ternyata bener-bener menghabiskan tenaga dan pikiran nih. Tapi di sisi lain, kegundahan itu juga membawaku untuk mencoba melihat sisi-sisi lain kehidupan juga menjadi ajang refleksi untuk menengok kembali pencapaian-pencapaian yang telah kulakuan. Yang herannya, aku kalo lagi gundah jadi lebih bisa untuk mencoba berempati terhadap suatu masalah. Jadi mikir, ini sebenarnya gundah atau mellow.

Baru saja aku ngecek blog-blog tematn di multiply. Ada sebuah hadits yang udah kukenal awalnya doang. Begini lengkapnya.

Sabda Rasulullah:

''Barang siapa menghilangkan kesengsaraan seorang muslim di dunia Allah akan menghilangkan kesengsaraan di hari kiamat dan Allah akan menolong hambanya`selama ia menolong saudaranya.Barang siapa menolong seorang yg dizalimi Allah akan menolongnya melewati sirath dan memasukanya di syurga dan barangsiapa melihat seorang yg dizalimi minta tolong dan tidak ditolongnya ia akan dipukul dalam kubur dengan seratus cambuk dari api neraka''.

Tentang berita gembira, yaitu ganjaran bagi orang yang menghilangkan kesengsaraan dan menolong orang yang dizalimi, aku tidak akan bicara banyak. Yang menjadi poin perhatianku adalah tentang ganjaran bagi orang yang tidak menolong orang yang dizalimi dan meminta tolong.

Kalau kucoba merenung, berapa banyak di sekitarku ada orang-orang yang dizalimi, ada orang-orang yang kesulitan, ada orang-orang yang lemah dan tak mampu. Juga berapa banyak dari orang-orang itu meminta pertolongan kepadaku. Dan berapa banyak dari banyaknya permintaan dan harapan yang ditujukan kepadaku itu kutampik, kutolak dengan berbagai macam alasan?

Keterbatasan kemampuan, yah, kalau kupikir itulah alasan yang paling sering muncul dan sering kukemukakan. Namun apakah benar kalau keterbatasan itulah yang membuatku tidak bisa atau mampu untuk menolong? Jangan-jangan ignorance aka ketidakpedulian atau bahkan ketidakmampuan berempati terhadap orang lain? Kalaupun aku sadar bahwa terjadi kezaliman di sekelilingku, seberapa banyak waktu, pikiran, tenaga dan semua sumber daya yang kumiliki, kuberikan dan kuinvestasikan untuk menumpas kezaliman itu? Jangan-jangan masih sedikit atau bahkan tidak ada sedikitpun kusisihkan waktu untuk itu?

........

Aku belum tahu dan mungkin perlu kucari tahu. Dalam perenungan ini, aku teringat cerita seorang sahabatku. Dia bercerita bahwa keluarga temannya, X, yang bertambah kaya dan terkenal. Uang keluarga X bertambah banyak, bapak si X dikenal di antara petinggi-petinggi dan orang-orang besar di Indonesia. Selesai sahabatku bercerita, temanku yang lain menimpali, "Ah, apa gunanya X tambah kaya kalau tidak ngaruh ke kita". Sahabatku tersentak dan berpikir, "betul juga, apa gunanya seseorang itu bertambah kaya, kalau ternyata kekayaannya tidak membawa berkah bagi orang-orang di sekelilingnya".

Aku juga setuju, apa gunanya seseorang mempunyai banyak potensi dan kemampuan, kalau ternyata dia tidak mampu untuk menggunakan potensi dan kemampuannya itu bagi kebaikan dan keberkahan di sekelilingnya.

Aachen, March 5, 2007
Saat-saat pergantian hari

Persembahan untuk sahabat yang selalu memberikan ilmu kepadaku