Thursday, April 12, 2007

Preambule of PLE - 2 (LMS)

Dalam posting sebelumnya, saya menceritakan tentang lifelong learning dan informal learning yang menjadi latar belakang dari pengembangan thesis saya ini. Pada posting ini, saya berniat menceritakan hal lain yang mendasari ide PLE, yaitu

Learning Managemen Systems (LMS)

LMS didefinisikan sebagai sistem yang didesain untuk memfasilitasi guru-guru dalam manajemen pembelajaran (kalau di universitas, perkuliahan) bagi murid-muridnya, terutama dalam membantu para guru dan pelajar dengan administrasi perkuliahan. System ini biasanya berjalan di sebuah server terpusat (centralized server) dan dapat diakses lewat internet (ataupun jaringan lokal) bagi para muridnya. Sebagai contoh kasus, berikut ini adalah LMS untuk kegiatan perkuliahan. Fasilitas utama yang dimiliki oleh LMS biasanya meliputi administrasi silabus perkuliahan, pendaftaran peserta kuliah, administrasi materi perkuliahan, administrasi ujian dan quiz, juga administrasi peran pengguna (user roles as theachers or students). Tidak lupa disediakan fasilitas discussion forum, chat, instant messaging, email, juga file upload-download. LMS juga sering disebut sebagai Virtual Learning Environment (VLE), learning content management systems (LCMS), course management systems (CMS), ataupun content management systems (CMS). Contoh-contoh LMS yang cukup terkenal adalah WebCT, Blackboard, Moodle, ATutor, ILIAS, Plone, dan Drupal. Saat ini telah cukup banyak LMS digunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan di eropa.

Persoalan yang dihadapi oleh LMS

Seperti dideskripsikan di definisinya, LMS ditujukan untuk manajemen dan memfasilitasi kegiatan belajar mengajar, tetapi tidak ditujukan untuk kegiatan-kegiatan belajar mandiri para penggunanya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa akan kesulitan untuk melakukan eksplorasi mandiri tentang teknologi java, misalnya. Karena fungsi-fungsi di dalam LMS kurang mendukung untuk kegiatan itu. Berdasarkan riset, LMS sendiri lebih banyak membantu efektifitas manajemen perkuliahan, tetapi tidak membantu banyak kepada efek pembelajaran (pedagogik) yang diharapkan.

LMS yang digunakan oleh satu institusi, biasanya tidak akan dapat diakses oleh orang dari luar institusi itu sendiri. Akibatnya, apabila seseorang meninggalkan suatu institusi, karena lulus misalnya, semua resource yang telah dia kumpulkan, atur, dan susun dalam LMS di institusi yang dia tinggalkan tidak akan dapat diakses lewat institusi barunya, misalnya karena accountnya dihapus setelah kelulusan.

Selain itu, LMS sering kali merupakan sebuah "fit-for-all application", yaitu aplikasi yang menyediakan semua fitur yang diperlukan. Aplikasi-aplikasi ini sebagai akibat dari para pembeli aplikasi yang naif yang menginginkan agar LMS mempunyai semua fitur yang mungkin saja tidak dia butuhkan. Sebagai akibatnya, LMS dapat melakukan banyak hal tetapi tidak sebaik yang dihasilkan oleh aplikasi-aplikasi yang ditujukan khusus untuk fitur tersebut. Jay Cross menyatakan bahwa aplikasi-aplikasi ini bagaikan Swiss Army Knife. Semua alat ada, mulai dari gunting, pisau, pembuka tutup botol, obeng, dll. Sangat bagus apabila suatu saat kita butuh untuk menggunting kertas atau mungkin membuka tutup sebuah botol. Namun jika ada 100 kertas atau 100 botol, akan lebih mudah jika kita menggunakan pembuka botol yang sebenarnya maupun gunting khusus untuk kertas. Selain itu, banyaknya fitur membuat pengguna membutuhkan waktu untuk beradaptasi menggunakan fitur-fitur tersebut, yang mungkin pada akhirnya tidak mampu melaksanakan tugas sebaik tools lain yang sering digunakan.

Pada akhirnya, sebuah pendekatan baru yang dapat men-tackle (menghadapi) persoalan-persoalan yang dihadapi oleh LMS menjadi pokok persoalan dalam thesis yang sedang dibuat.

No comments: