Sunday, April 15, 2007

Anak Indonesia Tidak Punya Hobi

Dalam sebuah email saya baca, diceritakan tentang opini seorang Belanda yang berkesempatan mengunjungi beberapa kota di Indonesia. Kesan positif yang dia dapat adalah keramahan orang Indonesia, terutama terhadap orang luar negeri. Ada rasa bangga kalau rumah mereka telah dikunjungi oleh orang luar negeri, entah ini positif atau tidak, saya tak bisa berpendapat. Namun, pendapat yang lebih menggelitik pikiran yang diungkapkan oleh orang Belanda ini adalah tentang bagaimana cara orang Indonesia untuk membelanjakan uangnya.

Menurutnya, orang Indonesia itu adalah orang yang tidak mempunyai hobi dan kurang memikirkan investasi pendidikan bagi anaknya. Kebanyakan anak Indonesia setiap harinya hanya bermain di sekitar rumah mereka. Orang tua mereka tidak berusaha mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang berguna, seperti olah raga, bela diri, kerajinan tangan, seni. Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa mempunyai sebuah hobi yang membangun, dan pada akhirnya hal itu pulalah yang dilakukan terhadap anak-anaknya. Salah satu faktor adalah karena orang tua ini kerjanya hanya menonton televisi, berbincang atau bergosip dengan tetangga, ataupun tidur.

Saat baru setengah membaca opini orang Belanda tersebut, saya menentang sambil mengatakan bahwa itu terjadi karena orang-orang tua tersebut tidak mempunyai uang untuk berinvestasi kepada pendidikan anaknya. Namun, setengah bagian terakhir opini tersebut, tersirat bahwa hal ini ternyata juga melanda kalangan menengah ke atas. Pada saat orang tua mempunyai uang, yang dilakukan adalah melaksanakan pesta; membeli mobil, televisi, dan peralatan lain; ataupun menghabiskannya untuk hal-hal tak berguna. Kalau saya perhatikan tentang beberapa keluarga, ternyata betul. Dengan alasan tidak mau anaknya bergaul yang tidak betul di luaran, disediakanlah berbagai fasilitas untuk "memenjarakan" anak di dalam rumah. Di dalam kamar anak disediakan televisi, komputer, playstation, internet untuk menjaga agar anak tidak keluar rumah. Pada akhirnya tidak hanya anak-anak ini tumbuh tanpa hobi (selain ngoprek komputer ya, itu hobi bagus), tetapi dapat juga menjadi anti-sosial dan tidak mampu berempati terhadap orang lain. Bahkan yang saya dengar belakangan sedang menjadi trend adalah hangout di mall. Jadi orang tua mengantarkan sang anak ke mall (jam 13.00), kemudian memberikan sejumlah uang. Sang anak akan menggunakan uang tersebut untuk menghabiskan waktu dengan teman-temannya, entah untuk makan, nonton bioskop ataupun belanja. Pada jam yang ditentukan, orang tua akan menjemput sang anak di mall (jam 21.00). Praktis, 8 jam dihabiskan sang anak untuk gosip, nonton ataupun belanja.

Memang hal ini tidak terlepas dari tingkat pendidikan orang tua tersebut. Di jerman sendiri, orang-orang tua yang berpendidikan telah melakukan hal ini. Dalam pemikiran mereka, lebih baik mempunyai sedikit anak tetapi anak tersebut tumbuh dengan potensi yang penuh dibandingkan banyak anak tapi tidak jelas akan menjadi apa mereka. Oleh sebab itu, salah satu penyebab orang-orang jerman tidak mau mempunyai anak adalah tingginya biaya yang perlu diinvestasikan terhadap satu anak. Investasi yang benar terhadap seorang anak di jerman sampai dia masuk kuliah setara dengan membeli sebuah rumah.

Namun terlepas dari semua itu, saya berpikir ada baiknya kalau kita mulai memperhatikan investasi pendidikan anak. Tidak perlu yang mahal-mahal lah, seperti di sini. Sebagai contoh dengan memasukkannya ke taman pendidikan Al Quran atau madrasah; jika mempunyai uang lebih, dapat juga beri les tambahan di bidang olah raga ataupun seni. Namun tentunya semua disesuaikan dengan keinginan anak itu sendiri. Tentunya akan menjadi kontra-produktif apabila pada akhirnya hanya kehendak dan perintah orang tua yang berbicara tanpa adanya dialog dengan anak.

PS: Kok gw ngomong udah kayak psikolog anak aja ya? Sok tahu abis...

Aachen. 15 April 2007

Disarikan dari email dan hasil diskusi dengan beberapa pihak.

Persembahan bagi Sri Tunruang.

8 comments:

Anonymous said...

wah, sudah punya anak berapa nih?
anyway, ulasan bagus, mudah2an berguna buat calon ibu2 & bapak2.
baru malam tadi melihat acara tv dibawah motto "kinder sind unsere zukunft"...
maju terus boz, -tn-

Anonymous said...

keren men, salah satu posting yang keren lagi.

ditunggu lagi berikutnya

Unknown said...

terima kasih.

Ismail Habib said...

Dalam pemikiran mereka, lebih baik mempunyai sedikit anak tetapi anak tersebut tumbuh dengan potensi yang penuh dibandingkan sedikit anak tapi tidak jelas akan menjadi apa mereka

Ga salah tik Om? :D

Unknown said...

terima kasih atas koreksinya. Sekarang telah saya ubah

dansat said...

kinder sind unsere zukunft"...
anak memang masa depan kita -> emang si.. tapi saya sendiri masi ternaung di 'parents.inc' sehingga tidak tau cara mendidik anak (masih mahasiswa :p)

Anonymous said...

ya orang tua indonesia belum banyak yang berpikir pendidikan itu investasi yang luar biasa ini mengakibatkan anak juga tidak mau berpikir maju kedepan. Ini saya alami sebagai guru di daerah ketapang, kalimantan barat. Musuh utama kami para guru adalah motivasi/kesadaran belajar anak-anak ketapang yang masih sangat kurang

Anonymous said...

saya setuju dengan orang belanda n jerman itu...orang indonesia masih takut bermimpi jauh kedepan.....n masih belum berpikir untuk investasi orang (pendidikan/sdm)...pemerintah daerah juga kadang tutup mata akan hal ini.