Wednesday, March 21, 2007

Aku sebagai anggota kelompokku....

"Kamu tahu gak kata-kata orang2 di luaran tentang kita?", tanya Ono suatu hari kepadaku.

"Wah kagak, emang jelek ya citra kita di luaran?", tanyaku keheranan.

Kulihat, Ono berpakaian serba tebal, lengkap dengan sarung tangan dan topi coklat, berdiri di samping sepedanya. Tidak biasanya Ono yang pendiam terlihat begitu emosional, sampai menyempatkan diri berhenti mengendarai sepedanya dan menyapa diriku yang sedang dalam perjalanan pulang ke apartmen. Di tengah-tengah taman barat yang dingin begini, ingin rasanya aku segera pulang dan menikmati secangkir kopi panas. Tapi pertanyaannya yang tiba-tiba diajukan memancing perhatianku.

"Mad, orang kita disebut teroris, klo ngedeketin cewe bule hanya untuk nyari ijin tinggal doang di sini (ini sih buat orang dari negara lain, bukan dari Indo), omong besar tanpa ada hasil, kerjanya ngritik, gak bisa ngehargain orang lain bahkan ekstrimis. Makanya gw ikut aktif ke mana-mana memperkenalkan diri sebagai anggota kelompok kita, orang Indonesia juga pelajar", seru Ono berapi-api kepadaku.

Aku tak bisa terima pendapat Ono dan berdalih, "Ah, masa sih separah itu?"

"Kamu gak tahu aja, Mad. Sekarang sih udah mendingan, tapi dulu mana ada kelompok lain mau bekerja sama dengan kita. Kita udah dicap jelek seperti itu. Bukan kesalahan kita (berdua) sih, tapi emang kesalahan komunitas kita. Masa dulu ada acara bersama multi-agama, udah dikonfirmasi dengan kelompok kita, udah kita informasikan tempat acaranya, eh pas acara tiba2 beberapa sesepuh dari kelompok kita tidak mau masuk ke tempat acara malah milih di luar dengan alasan tempat acara itu dalam lingkungan tempat ibadah agama lain. Itu kan namanya nge-boikot. Kita kan malu, dengan kelakuan sesepuh itu.", getir suara Ono terdengar.

Aku tetap membela, "Para sesepuh pasti punya alasan untuk hal itu. Mungkin ada hal lain yang jadi pertimbangan mereka.".

Ono menampik, "Kalau emang mereka dari awal tidak setuju, ya bilang dong! Ini aneh, diajak diskusi dan menyusun acara tidak pernah mau datang. Trus main bilang setuju aja, nah tapi pas konsep acara udah jadi, eh malah ngritik dan ngeboikot."

"Tapi, kan..."

"Kamu ingat ga tahun lalu, Mad? Waktu kamu baru datang. Diskusi di rumah merah. Para sesepuh itu menyerang abis-abisan tanpa mau mendengar alasan. Akhirnya kita mengalah dan mengikuti keinginan mereka, Mad. Tapi apa, pas acara tidak satupun dari mereka datang ke acara. Apa-apaan tuh! Itukah yang namanya menghargai?"

".....", ingin rasanya aku membela tapi tak satupun kata dapat keluar dari lidahku yang kelu. Hanya terdengar suara bebek-bebek di kolam yang berebutan mengejar roti-roti yang disebarkan di pinggir kolam oleh seorang nenek. Dingin cuaca mulai menusuk-nusuk mukaku, perih rasanya. Maklum di musim-musim dingin seperti ini, mukaku sering kering dan kalau teterpa angin dingin sedikit saja kadang terasa perih.

"Padahal apa yang dikhawatirkan oleh para sesepuh sama sekali tidak ada. Coba kalau mereka hadir ke acara, biar mereka liat sendiri apakah yang mereka khawatirkan itu muncul".

Akhirnya aku kembali buka suara, "Para sesepuh itu khawatir n paranoid kalau kita bicara tentang hal itu, No! Itu bisa ngebuka luka lama.". "Lagipula itu kan gak bisa menjadi alasan bagi orang lain untuk mencap kelompok kita dengan hal-hal yang jelek.", tegasku.

"Ok, itu baru dari soal ekstremis n gak menghargai orang, Mad. Mau contoh lainnya?", tanya Ono balik.

Aku berpikir dalam hati, "masih ada lagi? Gila, emang ngapain aja sih kita selama ini?".

Tanpa menunggu aku menjawab, Ono kembali bercerita "Selama ini, ada kegiatan besar apa yang pernah kita adakan. Di mana kita menjadi inisiator dan konseptor?".

".... Gue kan orang baru No, jadi gw gak tahu...tapi selama ini sih, setahu gw ga ada.", sedih mengakui hal ini, tapi itulah faktanya. Aku hanyalah seorang baru di kota ini. Sesuai dengan cita-cita orang tua, aku pergi meninggalkan tanah air dan mendarat di negera yang kata orang penghasil mobil-mobil eropa dengan gengsi yang tinggi. Di sini pula aku menemui komunitas Indonesia, juga kelompokku. Ternyata di komunitas ini, kelompokku dipandang rendah dan remeh.

"Itu dia Mad. KAGAK ADA. Makanya kita diremehkan, dianggap cuma omong besar doang. Makanya, gw keluar dan aktif kemana-mana sebab gw pengen kelompok kita ga dianggap remeh. Gw sadar bahwa orang lain akan melihat bahwa anggota kelompok kita gak seperti yang mereka anggap."

"Iya, No! Tapi kan seharusnya mereka gak ngecap kita gitu dong", aku tetep ga bisa terima. Aku mulai ikut emosi. Dingin yang sedari tadi kurasa tiba-tiba sirna. Mungkin emosiku menaikkan suhu tubuhku dan mengalahkan dinginnya cuaca. Ah peduli amat dengan dingin, yang pasti aku ga bisa terima kata-kata Ono.

"Betul. Tapi orang di luaran itu ngeliat bukan tujuan dan apa yang dibawa oleh kelompok kita, tapi apa yang dilakukan oleh anggota-anggota kelompok kita. Kita melakukan apapun itu mencerminkan identitas kita. Kalau orang lain pengen ngeliat bagaimana kelakuan pelajar dan dia tahu elo pelajar, dia tinggal ngeliat kelakuan elo. Kalau elo kerjanya hura-hura dan berkelahi, ya entar dia ambil kesimpulan bahwa pelajar itu sukanya hura-hura dan berkelahi. Kita ga bisa salahin mereka, kita yang harus introspeksi"

Diskusi itupun terhenti dengan diamnya aku dan perginya Ono ke tempat kerjanya. Baru aku sadari, bahwa kata-kata dia ada benarnya. Aku sering kali tidak sadar dengan citra diriku, dengan siapa diriku. Aku di sini adalah pelajar S2, orang indonesia, lulusan s1 dari Universitas Negeri Bandung, dan anggota kelompokku. Dan itulah yang orang lain lihat dari diriku.

"No, jadi kita harus gimana? Oooooiiii, No! ONO!", teriakku memanggil Ono yang sudah di kejauhan. Bayang-bayang Ono semakin menghilang dengan turunnya kabut di sekitar taman. Aku pun bergegas melanjutkan perjalanan pulang dengan pikiran yang penuh tanda tanya.

Aachen, March 21, 2007.

Sebagai persembahan untuk sahabat yang telah berbagi dan membuatku belajar banyak hal.

4 comments:

Anonymous said...

nice posting...

hope things will get better :)

Anonymous said...

keduaaaxxxxxxx
dalemmmmm :D

menurut gue sih....
elo ga bisa ngebela orang yg ga bisa menunjukkan kenapa dia patut dibela.

loh koq gue pusing sih ama kalimat gue sendiri...

kayanya elo mengambil posisi yang sama ama gue: wilayah abu2 alias netral...
pelangi engkau pelangeeee... (lagunya netral)

Unknown said...

Hmm boleh juga.

"Buat apa capek-capek membela orang yang gak patut dibela ato orang yang ga mau dibela".

I am still considering what to do.

Anonymous said...

ketemu anak itb satu sombong, trus bilang anak itb sombong semua; ketemu orang islam satu, suka neror, trus bilang orang islam teroris semua, ketemu orang indonesia satu, korup, trus bilang orang indonesia korup semua dst...
kbiasaan deh manusia tu..