Monday, March 19, 2007

Batas keikhlasan

Pernah denger Seno Gumira Adjidarma? Well, klo belum, silakan buka link ini. Kebetulan saya punya satu bukunya, yang berjudul Iblis Tidak Pernah Mati: kumpulan cerita pendek. Saya sih bukan seorang penggemar cerpen, tapi dari pada ga ada bacaan di kamar mandi pas lagi BAB (maaf ^^) ya apa boleh buat.

Tadi pagi seperti biasa, untuk menemani BAB, iseng baca satu cerpen yang berjudul Jakarta, Suatu Ketika. Bercerita tentang keadaan Jakarta pada saat kerusuhan 20 Mei 1998. Bagyo, salah satu tokoh di cerpen itu dikisahkan sebagai orang miskin yang diangkat sebagai pembantu. Dia lalu dipecat karena dituduh mencuri es krim. Yaaa, bukan berarti apa yang diceritakan itu benar, hanya saja saat membaca itu kok yang terbayang tuh tentang keikhlasan ya? Padahal bukan itu inti cerita yang ingin diceritakan Pak Seno ^^.

Pernah mendengar gak orang berkata yang mirip begini, "udah capek2 saya tolong, saya .... (isi sendiri deh), eh sekarang ngelunjak. Gak ngormatin saya lagi"? Kalau ditanya balik "jadi ga ikhlas nih?", dijawab "ya ikhlas dong!". Bahkan kadang nama Allah SWT, Rosulullah SAW dan lain-lain pun disebut2 untuk mengakui keikhlasannya. Sedikit banyak di dalam hati, saya berpikir, "jadi kalau saya ditolong, saya harus menghormati sampean?".

Saya pernah dengar dari seorang ustadz, bahwa ikhlas itu adalah seperti orang membuang air besar (maaf jorok lagi ^^). Kalau mau melakukan, tidak akan bilang2, tidak akan ngajak orang lain, memilih tempat yang tidak ada orang alias sepi, dilakukan secara cepat dan tidak akan disebut2 lagi apalagi ditunjukkan buktinya. Namun, tidak semua orang mampu melakukan sesuatu (menolong orang contohnya) dengan ikhlas.

Seseorang, paling tidak saya, mengharapkan sedikit penghargaan atas apa yang dilakukan. Kalau di Indonesia, setahu saya, kalau kita ditolong oleh seseorang, maka sudah sewajarnya kalau kita menghormati orang tersebut. Tidak hanya menghormati kadang, bahkan mendekati mengidolakan atau memuja. Orang yang menolong kadang2 akhirnya malah terbiasa untuk dihormati ketika dia menolong seseorang. Maka apabila jika suatu saat dia menolong seseorang yang kemudian tidak menghormatinya, maka yang akan keluar adalah "Dasar tidak tahu terima kasih! Udah ditolong juga. Coba kalau tidak ada saya, .... (dst)".

Saya pribadi tidak setuju dengan menyebut2 kebaikan diri pada saat menolong orang lain. Apa sih yang mau didapat dengan ngomongin hal2 seperti itu? Dipuji orang lain? Enak kalo dipuji, tapi kalo malah dianggap riya', merendahkan orang yang ditolong, merendahkan orang lain yang tidak ikut menolong, gimana coba? Kan susah! Ternyata banyak masalah bisa timbul hanya karena riya atau menyebut2 kebaikan.

Tapi, gimana pun juga, saya sangat mendukung untuk menghormati orang yang telah menolong kita. Kehadiran seseorang yang mampu menolong kita di saat kita sedang benar2 membutuhkan itu adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Tidak semua orang mampu menolong pada saat kita membutuhkan. Ada unsur timing atau waktu, serta unsur resource atau bantuan untuk menolong seseorang. Maka, sudah sepantasnya kita menghormati orang yang telah menolong kita, walaupun sedikitnya bantuan yang diberikan.

Jadi teringat oleh perkataan seorang ayah teman saya, "Kalau seseorang berbuat kebaikan kepadamu, ingatlah hal itu seumur hidupmu".

3 comments:

Anonymous said...

Kami ikhlas jadi temen om embee!!!!

Unknown said...

hik..hik..hik..terima kasih!!!!! Saya juga ikhlas jo!!!!!

Anonymous said...

bagus wan, postingan loe yang ini (kaskus banget).
gua tunggu hal2 positif lainnya